Cerpen Karangan:
Dara Cahya (29 November 2018)
Kalau bukan tekad yang kuat, apalagi yang bisa mendorong kita untuk bangkit setelah jatuh?
Kawan, itu adalah motto hidupku. Jika aku tidak memiliki sesuatu yang disebut tekad, aku tidak akan bisa menjadi seperti ini. Aku adalah seorang CEO. Pemilik perusahaan CC Group yang bergerak di bidang otomotif, resource & hotel. CC Group telah memiliki banyak anak perusahaan yang merata di daratan Asia dan Eropa.
Kalian pikir aku mendapatkan semua ini seperti semudah aku meniup lilin? Atau apa kalian berpikir aku mendapatkan ini semua karena aku seorang pewaris selanjutnya dari keluarga konglomerat? Sayang sekali, pemikiran kalian salah besar. Keringatku sendirilah yang membangun perusahaan ini mati-matian, semuanya dimulai dari nol.
Ingin kuceritakan bagaimana aku mendapatkan semua ini? Baiklah, aku akan menulisnya. Sebelumnya perkenalkan namaku Flo. Aku adalah anak tunggal dari keluarga yang berekonomi sedang.
Dulu, sewaktu aku masih duduk di bangku pendidikan tingkat SD-SMA teman-teman sering memanggilku atau menjulukiku ‘All Fire’. Kukira itu sebuah pujian. Tapi tidak, mereka mengolokku karena nilai raporku banyak yang berwarna merah. Artinya nilaiku berada di bawah KKM.
Usiaku pada saat itu yang seharusnya menikmati senangnya bermain bersama teman-teman, mereka justru mengucilku, mengolokku, mencemooh dan merendahkanku. Jadi, aku tak punya teman sama sekali. Teman sebangku? Dia tak pernah memakiku seperti yang lain tapi dia selalu mengabaikanku seperti tak menganggap aku ada. Padahal aku juga ingin rasanya, ingin tertawa dan menangis bersama mereka.
Apa responku saat mereka memandangku sebelah mata saat itu? Coba tebak. Aku melawan? Aku mengolok balik? Tidak. Saat itu aku hanya bisa berdiam diri. Pasrah akan perlakuan mereka. Bodoh memang. Jujur, aku benci ingatan-ingatan itu.
Kuakui aku anak yang paling bodoh di sekolah. Aku merasa tak punya potensi dan bakat. Aku seperti anak tolol karena tak punya kemauan untuk belajar. Saat belajar pun aku seperti membutuhkan teman untuk partner belajarku, yang berarti aku tidak bisa belajar sendiri karena aku butuh penjelasan materi-materi pelajaran. Tapi, kenapa tak ada seorang pun yang membantuku?
Kalian harus tau teman sejati hanya memang ada di buku dongeng! Aku benar kan?
Disaat aku merasa terpuruk. Orang yang satu-satunya kuharapkan bisa menenangkanku, melindungiku dari ejekan mereka malah membuatku semakin hancur. Dia adalah seseorang yang kusebut ayah. Dikala semua orang menganggap sosok ayah adalah seseorang yang hangat, bagiku dia adalah peluru panas yang siap menghunuskan pistolnya padaku.
Maksudnya, ayah juga sama seperti mereka. Bahkan lebih. Dia lebih menginjak-injakku daripada teman-teman.
“Kau bodoh dan tak berguna”
“Kau itu idiot”
“Kapan kau banggakan ayah? Huh, ayah tak akan berharap, Flo. Nilai rapormu saja sangat menjijikkan”
“Sadarlah, kau memang rendahan”
“Otakmu terbuat dari apa? Kau sangat bodoh sekali. Dasar otak ayam”
Dan masih banyak perkataannya yang lain yang ditujukan padaku. Kalimat pedasnya itu masih berputar-putar dalam otakku sampai sekarang. Ibuku? Dia sudah pergi ke Surga saat berjuang melahirkanku. Sehingga aku dibesarkan oleh ayah.
Aku marah pada ayah dan juga mereka. Aku menyalahkan Tuhan karena Dia menciptakanku dengan otak yang berIQ rendah. Ah aku kolot saat itu, padahal IQ bisa berubah.
Cukup. Aku sudah benar-benar terpuruk dan lelah akan semua perlakuan mereka. Aku jatuh dan tak seorang pun yang sudi menolongku. Aku mulai berpikir, aku tak bisa terus menerus berdiam seperti ini.
“Tuhan tidak akan merubah suatu kaum jika mereka tidak mau berusaha'” gumamku saat membaca terjemahan Kitab Suciku selepas sembayang. Aku merenung setelahnya.
Aku ingin merubah diriku karena aku sangat lelah dan bohong jika aku tak apa-apa diperlakukan rendah seperti itu. Mulai saat itu, aku punya mimpi. Sama seperti mereka.
Mimpiku adalah…
Mimpiku sangat tinggi, seperti tak sebanding dengan keadaanku sekarang.
Apa aku bisa? Apa aku bisa meraih langit itu? Walau tau itu tak mungkin tapi aku bisa berpegang pada mimpiku kan? Aku tak butuh seseorang untuk membantuku terbang kan? Aku bisa belajar sendiri kan? Aku hanya butuh tekad untuk membuatku bersemangat mengejar mimpiku. Aku sadar, tidak ada kata tak mungkin dan terlambat selagi ada waktu dan juga kesempatan.
Aku berusaha dengan belajar giat dari sana. Tak lupa juga berdoa pada Sang Kuasa.
Setiap harinya aku belajar dan belajar. Jika tidak mengerti materinya maka aku meminta mendatangi guru yang bersangkutan secara pribadi. Walaupun kelihatannya berat, tapi mereka membantuku. Guru-guru menatap aneh diriku. Seperti pandangan ‘buset. Kesambet apa anak ini? Tumben dia mau belajar?’ yah seperti itu menurutku. Tapi itu tak kuhiraukan.
Ternyata aku berhasil. Nilai rapor semester genap kelas 11 aku meraih posisi rangking kedua. Perasaanku saat bahagia saat itu, aku bersyukur berkali-kali pada Tuhan. Teman-teman tentunya terkejut dengan nilaiku. Kupikir mereka akan berhenti mengolokku. Namun, mereka malah menjadi-jadi. Mereka malah menuduhku yang tidak-tidak.
Ayahku juga masih sama saja sikapnya. Dan aku tak mempedulikan semuanya.
Hingga waktu tes masuk PTN favorit, aku gagal tak diterima. Padahal semenjak saat itu aku terus mempertahankan dan menaikkan nilai-nilaiku.
Mungkin Tuhan masih mengujiku. Aku tak marah karena aku sadar usahaku belum seberapa. Saat aku sudah berada di puncak, di sana masih ada gunung yang harus kudaki.
Ayahku terus menerus menertawakanku karena aku gagal. Katanya anak tolol sepertiku tak pantas masuk ke PTN.
Tapi sayangnya, aku tak berencana untuk jatuh.
Aku tak berencana untuk hancur.
Aku akan terus bangkit lagi meski aku berada dalam kekalahan.
Ibu, aku dilahirkan untuk tidak menyerah bukan?
Yah seperti itulah proses saat aku ingin dapat menyentuh langit. Menjadi CEO kini adalah buah keringatku. Saat menjadi CEO pun aku masih menjumpai kegagalan, cemohan, dan olokan. Itu seperti tak pernah lepas dari hidupku. Karena itu aku justru mensyukuri, apapun itu aku berusaha menikmatinya.
Ah satu lagi kunci kesuksesan selain berusaha dan berdoa. Adalah muliakanlah orang yang sedang kesusahan. Ulurkan tanganmu untuk mencabut duri yang tertancap di hatinya.
Aku menyusuri jalan setapak yang mengiringku menemui orangtuaku. Aku duduk untuk menabur bunga dan memanjat doa untuk ayah dan ibu di depan pusara mereka. Setelah itu, aku akan bercerita keluh kesahku
“Ayah, maafkan aku karena pernah membencimu. Ayah, kini aku telah mengerti. Terima kasih, selama ini kaulah orang yang mendorongku untuk maju. Setiap kata yang kau keluarkan dulu ternyata itu untuk melindungiku di masa depan. Aku tak akan goyah, aku akan kuat jika ada orang-orang yang menyakitiku. Itu kan maksud ayah? Ayah ibu, meskipun sudah terlambat, aku tetap ingin mengatakannya. Ayah ibu betapa aku mencintai kalian”.
Selesai.
Cerpen Karangan: Dara Cahya (29 November 2018)
Blog / Facebook: Cahya Maudy
Cerpen Karangan: Dara Cahya (29 November 2018)
Blog / Facebook: Cahya Maudy